Supir angkot yang malu karena anaknya kuliah
![]() |
Gambar Ilustrasi |
Kisah
ini aku alami ketika aku baru masuk kuliah disalah satu Perguruan Tinggi Negri
(PTN) di kota Pekanbaru. Aku saat itu masih minim pengetahuan tentang kota yang aku
tinggali ini, karena aku belum lama tinggal dikota ini.
Pada
suatu hari, aku harus pergi ke pusat bahasa universitas yang terletak lumayan
jauh dari tempat kost aku. Disaat itu, dengan sedikit nekad aku pergi seorang
diri ke pusat bahasa untuk mendaftar sebagai mahasiswa pelatihan bahasa. Saat itu
aku belum memiliki kendaraan sendiri, sehingga aku harus naik angkot.
Aku
harus berjalan sekitar 300 meter dari kost, dan kemudian menunggu angkot yang
minggir untuk menawarkan jasanya. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya ada
angkot yang minggir. Saat itu, tampak penumpang angkot tidak ada, sehingga aku
memilih duduk dikursi depan, tepatnya disamping sopir yang sedang asik bekerja (bukan lirik lagu ya gan).
Sopir
angkot tersebut sudah tua, perkiraanku sudah berumur diatas 50 tahun. Seketika suasana
hening didalam angkot terpecah, ketika bapak sopir memulai pembicaraan.
“Kuliah dimana dek?”. Bapak itu memulai pembicaraan.
“Kuliah dimana dek?”. Bapak itu memulai pembicaraan.
“Di UIN SUSKA pak?”. Jawabku.
“Oh, Bagus tuh. Sudah semester berapa?”.
”Baru masuk pak, semester I”.
“wah, itu belum tentu jadi tu”. Pak sopir menegaskan.
“Maksudnya apa pak?”. Tanyaku dengan sedikit bingung.
“Kalau masih baru belum tentu bertahan nanti
sampai akhir”. Terang pak sopir.
”sebenarnya biaya kuliah itu lebih murah
dibandingkan dengan biaya sekolah TK”. Lanjutnya menerangkan.
“maksudnya pak?”tanyaku bingung dengan
pernyataan pak sopir tersebut.
“biaya kuliah itu hanya 1 jutaan untuk satu
semester. Berarti dalam sebulan hanya sekitar kurang dari 200 rb. Coba bayangkan
biaya anak TK. Belum uang SPPnya, kemudian uang jajannya, bekalnya lagi, semua
itu kalau dihitung lebih dari 200 ribu”. Kembali bapak itu menyambung
penjelasan.
Dalam
hatiku, memang ada benarnya juga pernyataan bapak ini.
Belum
selesai lamunanku, pak sopir kembali menerangkan.
“saya sendiri punya anak yang kuliah di
Universitas Riau”. Bapak sopir berbicara.
“oh, jurusan apa pak?”. Tanyaku.
“Jurusan Argoteknologi, namun saya malu untuk
mengakui kepada teman-teman dan tetangga saya”. Sepontan ini membuat aku terkejut.
“Kenapa begitu pak?”. Tanyaku dengan bingung.
“Kenapa begitu pak?”. Tanyaku dengan bingung.
“saya takut kalau saya mengakui dia kuliah di
UR, karena jika anak saya sampai berhenti ditengah jalan, membuat saya menjadi
lebih malu. Memang pernah ada tetangga saya yang pernah berjumpa dengan anak
saya di UR, dan kemudian ia menanyakan apakah anak saya kuliah, namun saya
tetap menjawab tidak, anak saya bekerja dipasar. Memang banyak tetangga saya
yang bertanya kepada saya tentang anak saya sedang kuliah atau bekerja, namun
tetap saya menjawab anak saya bekerja dipasar. Kecurigaan tetangga saya memang
sering muncul, karena anak saya sering mengajak teman-temannya untuk dating kerumah.
Jika ada tetangga saya yang bertanya, saya jawab itu adalah teman anak saya
yang bekerja dipasar”.
Bapak
itu memberikan penjelasan tentang anaknya yang kuliah di salah satu universitas
terkemuka dikota ini, yang membuatku sangat tercengang. Aku sebenarnya masih
bingung dengan tindakan bapak sopir mengapa ia malu mengakui kalau anaknya
kuliah. Sembari memegang stir, dan mencari-cari penumpang, kembali pak sopir
melanjutkan bicaranya:
“memang untuk membiayai kuliah itu mudah,
namun saya sadar untuk menjalankannya itu sulit. Saya mengerti betul apa yang
dirasakan anak saya saat menjalani kuliah, sehingga saya sering memberikan
pengertian dan motivasi kepada dia. Saya tidak mau mengakui kepada tetangga saya kalau anak saya
kuliah, namun pada akhirnya mereka tahu sendiri pada saat anak saya wisuda”.
Satu
persatu penumpang naik kedalam angkot ini, hingga menjadi ramai. Pembicaraan kamipun
terhenti. Selang beberapa saat, aku bertanya kepada pak sopir, apakah angkot
ini menuju tempat yang aku tuju, ternyata tidak. Sehingga pada perempatan jalan
akupun harus turun dari angkot, untuk mencari angkot lain yang yang menuju ke
pusat bahasa universitasku.
Pernyataan
bapak sopir ini membuatku termenung dan terus memikirkannya. Apa iya,
sebegitunyakah kuliah itu, sehingga bapak sopir angkot ini tidak mengakui
anaknya kuliah.
Meskipun
begitu, ada satu kesimpulan yang aku dapat dari pengalaman yang menarik ini,
yaitu memulai dengan sepenuh hati, dan menjalaninya dengan tekun. Maksudnya adalah
dengan niat yang lurus, dan menjalaninya dengan sabar dan tekun serta tetap
rendah hati dan tidak menyombongkan diri untuk melakukan hal-hal yang luar
biasa.
Cerita
inspirasi yang memang kelihatan sepele, namun ada sisi baik yang luar biasa. Pelajaran
yang berharga selalu muncul tidak perduli dari mana asalnya, dan siapa yang
memberikannya.
nb: artikel ini adalah karya saya, dan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, bukan copas dari cerita manapun.
0 komentar:
Posting Komentar