Waktu menunjukkan pukul 06.00 aku bersiap – siap untuk pergi ke ibukota kabupaten yang terletak lumayan jauh dari kampungku. Rencananya, aku akan mengurus beberapa dokumen kependudukan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin Mengemudi (SIM). Perjalanan ini kami tempuh selama tiga jam dengan mengendarai sepeda motor pinjaman dari saudara. Makanya, kami memilih pergi pagi-pagi agar bisa sampai dikota tidak terlalu siang.

Setela menempuh perjalanan berliku-liku, maklum karena struktur geografis daerahku yang perbukitan dan harus melewati berkilo-kilo meter perjalanan dengan keindahan alam berupa hutan-hutan liar serta rumah penduduk, serta suhu dingin yang lumayan membuat tubuh kedinginan.
Saat matahari mulai meninggi, aku dan ayah memutuskan untuk singgah di sebuah rumah makan ditengah taman nasional ‘Batang-Gadis’, meskipun hanya sekedar istirahat, minum teh dan numpang buang air kecil saja.
Perjalanan pun kami lanjutkan kembali, kini kurang lebih satu jam kemudian aku dan ayah telah sampai di kota yang kutuju. Setelah berganti sopir, akupun langsung menuju ke dinas pencatatan sipil, dan langsung ngantri untuk buat KTP.
Pada saat melewati sebuah desa tidak jauh dipinggiran kota, aku dikejutkan oleh sebuah mobil truk tangki yang terguling, dan menimpa rumah warga. “Lho, kok bisa mobil menimpa rumah...”. mungkin itu pertanyaan kita yang jika kita hanya mendengar saja, tanpa melihat keadaan yang sebenarnya. Namun, biar saya jelaskan terlebih dahulu.
Mobil tangki itu terguling 45 derajat menimpa rumah warga, karena mungkin kesalahan pengemudi, atau ada faktor teknis dari mobil tersebut, sehingga menyebabkan kecelakaan. Kembali lagi tentang masalah rumah warga. Mobil tangki tersebut menimpa rumah warga, karena kesalahan konstruksi rumahnya. “kok rumahnya yang disalahkan...”. jelas saja rumahnya yang salah, Lha wong  buat rumah terlalu dekat dengan bibir jalan raya, sehingga rumah-rumah kebanyakan didaerah itu, begitu buka pintu rumah, langsung ketemu jalan. Masih untuk ada got kecil didepan rumah itu, kalau tidak, mungkin saja mereka pada buat rumah bisa memakan sebagian bahu jalan. “kaya pedagang kaki lima saja”. Yah, memang begitulah kenyataannya.
Lanjut cerita tentang perjalananku menuju kota. Waktu menunjukkan sekitar pukul 09.00 dan dengan antrian banyak orang, aku berusaha untuk sesabar mungkin menyelesaikan antrian ini. Dan akhirnya, namakupun dipanggil, setelah matahari sudah hampir diatas kepala.
Akupun langsung tancap gas menuju polres setempat untuk membuat SIM. Ditengah perjalanan, tiba-tiba dua orang polisi yang mengendarai sepedamotor mendahului kami dan menyuruh kami berhenti. Tanpa beri hormat, dan tanpa salam apa-apa, kedua polisi ini pun langsung menanyai surat-surat kendaraan. Yang bisa ditunjukkan tentu saja hanya STNK, karena aku tidak ada SIM, namun aku mencoba membela diri dengan menunjukkan surat kehilangan SIM. Dan apa yang terjadi, mereka menolak dan langsung menggiring kami ke kantor SATLANTAS.
Sesampai di kantor, yang menurutku lebih mirip kantor “POS KAMLING” ini, karena banyak benda-benda berserakan, seperti kursi,meja, serta tempat yang berdebu dan kotor. Dibawalah kami keruang paling belakan, dimana hanya berdindingkan papan serta lantai yang tentusaja berdebu. Dan disitulah inti cerita ini dimulai.
Aku menunjukkan dan menjelaskan sekuat tenaga untuk membela diri, agar bebas dari tilang. Namun, apa yang terjadi, mereka menolak. Ayahpun tidak mau kalah, mencoba untuk beradu otot suara dengan kedua polisi ini.
Lalu, tanpa persetujuanku, surat tilang ditulis, namun aku menolak menyebutkan namaku. Rupanya mereka tahu, langsung meminta surat bukti kehilangan SIM yang kubawa, langsung deh, di orat-oret kertas tilangnya. Dan kami diminta untuk membayar denda tilang sebesar Rp 250.000;
Aku tetap menolak, karena aku merasa bahwa aku telah melakukan prosedur sebagaimana yang aku dapatkan dari divisi humas Polri, tentang kehilangan SIM. Namun, kedua polisi yang keras kepala  ini tetap saja tidak mengakui surat kehilangan ini, dengan alasan tidak adanya lampiran nomor seri SIM.
Setelah sejam lebih berdebat, akhirnya ayahku menggunakan jurus ala ‘KORUPTOR’, yaitu mencoba menyuap mereka dengan selembar uang limapuluhribu. Namun tetap mereka tidak mau. Yasudah, ditambah lagi sebesar seratus ribu, mereka juga tetap tidak mau. Yaudahlah, tawaran terakhir, seratus limapuluh ribu rupiah. Namun mereka juga tidak mau, dan tetap bersikeras menahan motor kami. Aku disitu heran bukan kepalang, karena bagaimana bisa orang ditilang karena tidak memiliki SIM, malah motornya yang ditahan. Seharusnya kan dikasi surat tilang, dan kalaupun ingin sidang, hanya surat kendaraannya saja yang ditahan. Aku merasa diperlakukan seperti pencuri sepeda motor, karena sepedamotor ditaan, beserta surat-suratnya, dan kami malah disuruh pulang naik angkot.
Ditengah perdebatan sengit itu, aku diam-diam mengeluarkan HP dan merekam video perdebatan kami tanpa diketahui mereka.
Ditengah perdebatan kedua belah pihak yang tidak mau mengalah ini, aku dan ayah akhirnya memilih WalkOut dan menelepon salah seorang teman ayah yang juga berprofesi sebagai polisi. Setelah mengobrol beberapa saat, datanglah salah seorang polisi yang menilangku tadi, dan memanggil ayah. “kan aku yang kena tilang, karena aku yang mengendarai motor. Kok ayah yang dipanggil.” Gumamku dalam hati.
Eh, ternyata ayahku pun keliar dengan membawa kunci serta STNK motor. Dengan nada emosi, ayahku pun menyuruh untuk bergegas. Dan benar saja dugaanku, ternyata mereka menerima uang suap ayah sebesar seratus limapuluh ribu.
Dari peristiwa tilang-menilang yang dilakukan polisi diatas, sebenarnya banyak yang tidak sesuai prosedur, misalnya mereka tidak melakukan razia kendaraan dipinggir jalan, malah menggunakan cara mata-mata, dengan mengejar kendaraan dari belakang dan mencegatnya, mirip kronologi peristiwa Begal Motor yang saat ini marak terjadi. Belum lagi yang meminta kami untuk menjelaskan di kantor “POSKAMLING” alias SATLANTAS, dan membawa pengendara kesebuah ruangan, mirip pelaku kejahatan kriminal. Kalaupun memang melanggar, apa salahnya dibicarakan dipinggir jalan. Belum lagi masalah surat kehilangan yang tidak berlaku, mulai dari alasan tidak ada no seri SIM, hingga berkilah hanya berlaku didaerah tempat kita melapor saja.
Polisi tersebut samasekali tidak ada toleransinya, karena tujuan saya semula adalah untuk mengurus SIM. Dan jarak dari kantor SATLANTAS ke Polres itu hanya berkisar satu km. Kalau mereka berkilah menjalankan aturan, memangnya aturan siapa yang mereka jalankan? Aturan manusia? Memang sudah berapa taat mereka terhadap aturan Allah?. Allah melalui para nabi dapat memaafkan umatnya yang bersalah, terlebih lagi mereka memiliki niat baik. Ya itulah, serba serbi negara “Democracy SEKULER” yang dimana aturan Tuhan hanya dijadikan sebagai koleksi saja, dan tidak dijalankan. Maka tidak heran, kalau sanksi bagi para pelaku Zina, Pembunuh, dan Koruptor di negeri ini terbilang sangat ringan. Misalnya saja pejabat yang korupsi, di penjara hanya beberapa tahun, sementara dia menghabiskan uang negara milyaran bahkan trilyunan rupiah. Mereka dipenjara bahkan dengan fasilitas hotel berbintang, seperti adanya kasur empuk, ac, tv layar lebar, dll. Bahkan lebih mewah dari kebanyakan kamar orang indonesia saat ini.
Sebagai seorang Mahasiswa yang aktif dalam kajian Islam dan tergabung dalam aktivis dakwah, aku tahu bagaimana pentingnya penegakan hukum Islam dimuka bumi. Namun, hal yang paling berat saat ini adalah argumen dari kebanyakan orang “Orang Indonesia tidak semuanya Islam, jadi tidak cocok diterapkan di Indonesia.” Namun, dakwah tetaplah yang utama, meskipun berlawanan dengan argumen yang hanya berdasarkan “Menurut saya.”
Untuk bahasan mengenai persoalan di Indonesia cukup segitu dulu, di posting berikutnya Insya allah saya bahas tentang pentingnya hukum Syariah Islam di muka bumi.
Lanjut ke cerita selanjutnya, setelah selesai berdebat, waktu menunjukkan pukul 14.00 kami bergegas ke Polres. Setelah menyiapkan segala persyaratan, akupun antri tunggu giliran untuk sesi pemotretan. Ternyata aku tidak diwajibkan ikut ujian, karena kata polisi disitu aku sudah pernah buat SIM.
Dan akhirnya, tibalah waktunya pemotretan. Setelah sidik jari, tanda tangan, dan pemotretan, akhirnya tibalah pembayaran. Aku terkejut bukan main, karena aku mengurus SIM dengan alasan kehilangan SIM, namun biaya yang dikenakan Rp 350.000;. padahal, jelas tertera di spanduk depan kantor bahwa untuk mengurus SIM yang hilang atau rusak hanya dikenai biaya Rp 75.000;.
Namun, ya sudah lah aku Legowo saja dengan apa yang sudah saya alami saat itu. Cerita hari itu belum selesai sampai situ. Setelah selesai mengurus SIM, sekitar pukul 15.30 kami memutuskan untuk makan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan pulang.
Dalam perjalanan pulang, kami lagi-lagi dikejutkan oleh sebuah kecelakaan tunggal sebuah mobil yang keluar dari jalan dan terperosok ke jurang sedalam kurang lebih 50 meter, setelah sebelumnya menabrak sebatang pohon karet. Tampak puing-puing kendaraan berserakan disepanjang jejak terperosoknya mobil tersebut. Dari beberapa saksi, diketahui penumpang dan sopir mobil berjumlah dua orang  dalam keadaan selamat, dan sudah dibawa kerumah sakit. Polisi lalu tiba di langsung olah TKP. Keadaan jalan saat itu macet, karena banyaknya pengendara lain yang berhenti ingin menyaksikan mobil yang masuk kedalam jurang tersebut.

Tak ingin berlama lama menyaksikan peristiwa kecelakaan tersebut, akhirnya kami bergegas melanjutkan perjalanan pulang. Dan akhirnya sekitar pukul 17.30 kami tiba dirumah.


Demikian cerita TRUE STORY yang saya alami, ditulis dengan fakta yang sebenarnya dan tanpa ada niat untuk menyinggung perasaan siapapun.

0 komentar:

Posting Komentar